Aku mendasarkan daya pemikir ini
untuk terjun langsung dalam harum hawa yang mungkin telah di siapkan-Nya.
Seolah separuh sayap ini rapuh menghilang dalam jejak masa lalu yang terus
menguliti nadi tanpa pengampunan. Aku mempercayai, ketika Tuhan memberikan
sesuatu bukan untuk apa yang kita inginkan, melainkan apa yang kita butuhkan.
Dan apabila suatu saat titipan itu pergi, setidaknya kita tidak pernah lupa
bahwa pernah menggenggamnya meski tidak terlalu erat, pernah memeluknya meski
kadang tak hangat dan pernah memilikinya meski terkadang melupakannya. Karena
segala sesuatu yang kita cintai pada akhirnya akan hilang, maka belajarlah
untuk memaknai keberadaannya dengan penuh syukur.
Kesedihan
yang aku jalani ini tidak berlangsung lama, setidaknya tidak perlu memasukan
dasawarsa sebagai pengantarnya. Senja itu mengantarkan jejakku pada sebuah
keputusan, tepatnya di kediaman Steve yang selalu hening akan suara. Dimana
keberangkatan penerbanganku ke Bali segera di percepat, adalah Steve yang
memperkenalkan aku pada pulau seribu pura itu. Aku begitu terkejut, entah sosok
apa yang memaksa dia untuk memaksaku menemaninya ke Bali. Memang, seperti
butiran telur ayam yang hampir tiap harinya menetas, begitulah tingkat
perekonomian keluarga Steve yang selalu memanjakan kuantitas di banding
kualitas. Aku sudah mengenal steve semenjak kita masih berumur 7 tahun, saat
dia masih menggantungkan tempat minumnya di pelingkaran leher. Sesaat itu pula
aku mengetahui bahwa Steve adalah turunan berkebangsaan Inggris.
“Sudahlah
Lex... Sedihmu adalah semu yang melibatkan kamu pada titik penderitaan
sekarang”.
“Apa
maksudmu Steve?”
ujarku yang masih terheran dengan kalimat sajakan itu.
“Aku
memilihmu untuk menemaniku ke Bali, supaya kamu bisa melupakan dia yang telah
berkali-kali menyakitimu, Lex!. Tujuan aku baik, mendapatkan kebahagian (Happiness) untukmu yang setidaknya
lebih layak untuk di perjuangkan. Siapa tau juga kan, kamu dapat kenalan wanita
Bali yang katanya begitu anggun. Hehehe...” jawab Steve yang sedang menyiapkan pakaiannya untuk
lusa mendatang terbang ke Bali.
Apa
yang di katakan Steve ada benarnya juga. Kebahagian adalah modal terpenting
untuk setiap senyuman. Kebahagiaan lebih dari sekedar senang-senang. Dan
kebahagiaan adalah lembaran baru yang akan aku catat nantinya. Sebaiknya aku
juga segera berkemas pulang, menyiapkan segala keperluan yang nantinya akan di
perlukan. Pulau Dewata, I’m coming!
Mungkin bagi Steve sudah kesekian
kalinya menginjakan kaki di pulau dewata ini. Namun bagiku, kali pertama jejak
kaki ini menyentuh tanah Bali. Kesan tersendiri mambawa nama diri di hadapan
ribuan jejak kaki yang telah melahirkan kenangan di pulau ini. Apakah aku yang
selanjutnya dapat membukukan kenangan itu, atau kebahagian yang menggiring aku
dalam buku kenangan baru.
Entahlah,
tanah Bali rasanya masih sulit untuk aku pelajari. Jangankan untuk mencari
sriwedari, mencari alamat pun aku yakin tidak akan menemukannya. Setibanya kami
di sebuah hostel, tidak lengkap rasanya memanjakan seluruh sendi yang sempat
kaku akibat perjalanan jauh. Siang itu menunjukan terik yang begitu panas,
sehingga membuat kedua kaki kami memaksa diam untuk tetap singgah.
“Lex...
kita menginap di hostel ini hanya semalam saja. Besok aku akan mengajakmu ke
tempat sriwedari nya pulau dewata”.
“Aku
ikut apa katamu saja Steve, lagipula peranku disini hanya menemanimu saja”.
“What
are you talking? Bali’s a place where happiness gather. let the wings grow back
in this place”.
Cakapan Steve yang fasih sekali dengan pronounce english.
Pikiranku
langsung bergegas, memaksa seluruh indera untuk segera bangkit dari sofa yang
terus memanjakan tubuh. Tidak mungkin ada kelahiran kesenangan tanpa ada usaha
di dalamnya, tidak menutup kemungkinan juga aku menemukan sayap yang sempat
patah untuk segera bertumbuh.
60
menit sudah aku berjalan kaki di sekitaran hostel kami bersinggah. Bali sungguh
indah, tidak heran banyak wisatawan asing lebih mengenal Bali daripada
Indonesia. Penerapan tiap sudut bangunannya sungguh di tata sangat baik. Yang
lebih membanggakannya lagi, ribuan pura yang berumur sudah sangat tua masih di
jaga dan di rawat dengan baik. Sebaiknya aku beristirahat sejenak, mungkin
dengan minum coffee di cafe akan lebih menenangkan mata ini yang sudah sangat
lelah. Kala itu aku duduk di sebuah sofa yang mengkaitkan antara warna putih
dengan warna polkadot hitam. Tentu, ditemani kamera SLR yang selalu aku bawa
kemanapun aku pergi. Sesaat beberapa menit aku sedang melihat foto, mata ini seakan
mempunyai naluri untuk melihat sriwedari lain yang tersembunyi di balik sofa.
Dia adalah bulatan mata yang tercipta sangat sempurna, senyumnya serupa mawar
yang ingin tumbuh, bahkan harumnya semirip melati yang memagiskan seseorang
untuk tetap diam.
Tuhan telah menciptakan setiap
kejadian di setiap rencana-Nya yang paling indah. Tuhan telah mempersiapkan
semuanya berdasarkan hal yang paling baik. Termasuk saat ini, ketika semua itu
berlangsung sangat indah. Tidak memandang kemaluan yang tak hentinya terus
mendorong tingkat panik ku pada saat itu.
“Hey...
Bolehkah aku duduk di sofa ini, terlihat kita memang asing di antara banyak
orang yang duduk dengan riang di cafe ini” Pintaku yang terlihat begitu gugup berhadapan
dengannya.
“Tentu...
Lagipula aku memang benar-benar sendiri di tempat ini. Tidak ada tujuan yang
pasti aku singgah sementara di Bali, aku hanya ingin merasakan kebahagiaan.
Just Happiness!” Balasnya
yang cenderung murung seterpa langit berlapiskan hujan.
“Lihatlah
edelweis yang bergerak statis di kanvas bunga itu. Meski dia ingin sekali
menghirup udara bebas di luar sana, aku yakin dia tetap tersenyum dan
memberikan keindahannya dengan apa yang dilakukannya sekarang”.
“Kamu
ini seorang pujangga yang berasal dari turunan siapa? Hahaha !!! Bukankah umur
edelweis sangat panjang? Bagaimana mereka bisa menahan kesedihan di masa yang
sangat panjang?”
“Pertanyaanmu
bak syair yang tidak beraksara. Hahaha !!! Hal istimewa apa yang menempatkan
sesuatu dalam ruang kenyamanan? Kemungkinan dia tetap tinggal adalah cara yang
terbaik untuk menemani edelweis satunya di ruang ini. Saat aku masuk di cafe
ini, aku melihat 2 tangkai edelweis yang masih tegak sempurna tanpa ada
kesedihan di antara keduanya.” Ucapku
sambil melihat dia menuliskan sesuatu.
Saat
purnama melihat sabit ingin muncul
Sesaat
itu pula aku ingin bertemu denganmu lagi di lain kesempatan
Ketika
cahaya pijar tiba-tiba meredup
Ketika
itu pula Tuhan membiarkan kita menjauh
Windya Larasati
Pada saat itu aku
berkomitmen untuk tetap lama singgah di Bali. Aku masih mempercayai ketika
Tuhan menempatkan sosok wanita pada saat kita benar-benar membutuhkannya, bukan
pada saat menginginkannya.
Keesokan harinya
Steve mengajakku untuk pergi ke suatu tempat. The Bay Bali. Aku masih
penasaran dengan tempat apa yang nanti akan aku kunjungi itu. Menurut Steve,
tempat itu adalah sriwedarinya pulau Bali. Memang benar, ini adalah taman
surga nya para traveller untuk benar-benar memanjakan diri di Pulau Bali.
Aku sangat beruntung sekali
mempunyai teman seperti Steve, tidak henti-hentinya Ia menawarkan kebaikan yang
tidak pernah putus terhadapku. Entah dengan apa aku harusnya membalasnya kelak,
setidaknya aku selalu ada di saat dia benar-benar membutuhkan ku. Itulah
gunanya sahabat.
Sore
itu tidak menyurutkan semangat kami berdua untuk mengelilingi luasnya The
Bay Bali ini, tidak lupa juga kami melahap kuliner yang katanya menjadi
maskot di tempat ini. Adalah menu bebek bengil yang rasanya tidak di ragukan
lagi. Aku hanya tertegun ketika melihat di sekitar ku terdapat lampu taman yang
seketika menyala untuk menyambut malam.
Malam pun tiba, puluhan cahaya lampu
seakan membawa nyawa yang tidak ada hentinya terhadap malam. Aku beranggapan
bintang tidak lagi membuktikan keperkasaannya di tempat ini, mataku hanya
menunjuk pijar yang menjadi penerang di gelap malam.
De
opera, adalah langkah selanjutnya aku melangkahkan kaki di The Bay Bali, inilah
sriwedari yang sesungguhnya. Taman surga yang sangat indah. Tidak ada daya
magis yang terlihat disini, ini hanya tentang langkah yang menuaikan pekik
kebahagiaan. Terima kasih Tuhan, engkau telah menempatkan aku di tempat yang
istimewa ini.
Dan sekali lagi, Tuhan menunjukan
langkah yang sangat istimewa. Mata bulat nan indah dan senyum yang bisa
menghidupkan mawar yang sudah layu itu kembali datang di hadapan ku saat ini.
Tepat di 90 derajat ke kiri arah ku berdiam sekarang. Ini sungguh mustahil,
sangat mustahil!!! Menuaikan tanda tanya terbesar tentang rencana Tuhan yang
terkadang tidak masuk akal. Tak butuh waktu lama juga aku segera mendekatinya.
“Windya Larasati?”
sapa ku yang masih ragu-ragu dengan keberadaanya.
“Aku masih tidak percaya, bahwa sabit memang
benar-benar ingin muncul di malam ini dan menggantikan purnama. Mungkin Tuhan
telah merencanakan ini semua” jawab Windya yang masih mengingat sepotong
surat itu.
“Selamat malam. Selamat menikmati malam yang
indah ini. Aku percaya, ribuan pijar ini adalah nyawa dari edelweis yang
sengaja kita bicarakan waktu itu. Kali ini aku tidak akan melepaskan dirimu
secepat air menyurutkan api, aku benar-benar ingin memahami dirimu lebih jauh.
Aku Alex, bukan turunan Bali, aku hanya pendatang disini yang ingin merasakan
kebahagiaan sama sepertimu” Tegasku sambil memegang minuman di jembatan
yang penuh dengan pijar itu.
“Okay... I’m not going to go away. Disini aku
hanya menemani Ayahku yang sedang mengadakan meeting dengan para karyawannya.
Kebetulan kamu datang di saat yang benar-benar aku butuhkan, aku kesepian di
tempat ini. Kalau tidak keberatan, aku ingin mengajakmu besok sore untuk makan
bersama denganku”
Ini kali pertama lagi aku merasakan
cinta. Tidak dapat membayangkan lagi ketika seseorang di hadapkan pada cinta
yang benar-benar mereka butuhkan. Aku benar-benar mengaguminya saat itu, terasa
aku ingin benar-benar berjuang. Jika memang pada saatnya itu tiba, tidak akan
aku lupakan bahwa Bali adalah Pulau yang saat indah untuk selalu aku kenang.
Ibarat
biji coffee yang bila di diamkan lama akan mempunyai kualitas yang sangat baik.
Selama itulah hubungan aku dan dia kini sudah menjadi kita. Sriwedari Bali yang
telah mengatarkan kita sampai saat ini. Tuhan telah menempatkan dan merencakan individunya
dalam dimensi yang sangat indahnya. Jika hari ini kita merasakan sakit, jangan
pernah perpanjang rasa kesakitan itu berlanjut, karena Tuhan telah
mempersiapkan rencana yang luar biasa di depan.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! (dengan tulisan The Bay Bali yang di link ke website: www.thebaybali.com).