Senin, 07 April 2014

Sriwedari Pulau Dewata

        Aku mendasarkan daya pemikir ini untuk terjun langsung dalam harum hawa yang mungkin telah di siapkan-Nya. Seolah separuh sayap ini rapuh menghilang dalam jejak masa lalu yang terus menguliti nadi tanpa pengampunan. Aku mempercayai, ketika Tuhan memberikan sesuatu bukan untuk apa yang kita inginkan, melainkan apa yang kita butuhkan. Dan apabila suatu saat titipan itu pergi, setidaknya kita tidak pernah lupa bahwa pernah menggenggamnya meski tidak terlalu erat, pernah memeluknya meski kadang tak hangat dan pernah memilikinya meski terkadang melupakannya. Karena segala sesuatu yang kita cintai pada akhirnya akan hilang, maka belajarlah untuk memaknai keberadaannya dengan penuh syukur.

            Kesedihan yang aku jalani ini tidak berlangsung lama, setidaknya tidak perlu memasukan dasawarsa sebagai pengantarnya. Senja itu mengantarkan jejakku pada sebuah keputusan, tepatnya di kediaman Steve yang selalu hening akan suara. Dimana keberangkatan penerbanganku ke Bali segera di percepat, adalah Steve yang memperkenalkan aku pada pulau seribu pura itu. Aku begitu terkejut, entah sosok apa yang memaksa dia untuk memaksaku menemaninya ke Bali. Memang, seperti butiran telur ayam yang hampir tiap harinya menetas, begitulah tingkat perekonomian keluarga Steve yang selalu memanjakan kuantitas di banding kualitas. Aku sudah mengenal steve semenjak kita masih berumur 7 tahun, saat dia masih menggantungkan tempat minumnya di pelingkaran leher. Sesaat itu pula aku mengetahui bahwa Steve adalah turunan berkebangsaan Inggris.

“Sudahlah Lex... Sedihmu adalah semu yang melibatkan kamu pada titik penderitaan sekarang”.

“Apa maksudmu Steve?” ujarku yang masih terheran dengan kalimat sajakan itu.

“Aku memilihmu untuk menemaniku ke Bali, supaya kamu bisa melupakan dia yang telah berkali-kali menyakitimu, Lex!. Tujuan aku baik, mendapatkan kebahagian (Happiness) untukmu yang setidaknya lebih layak untuk di perjuangkan. Siapa tau juga kan, kamu dapat kenalan wanita Bali yang katanya begitu anggun. Hehehe...” jawab Steve yang sedang menyiapkan pakaiannya untuk lusa mendatang terbang ke Bali.

            Apa yang di katakan Steve ada benarnya juga. Kebahagian adalah modal terpenting untuk setiap senyuman. Kebahagiaan lebih dari sekedar senang-senang. Dan kebahagiaan adalah lembaran baru yang akan aku catat nantinya. Sebaiknya aku juga segera berkemas pulang, menyiapkan segala keperluan yang nantinya akan di perlukan. Pulau Dewata, I’m coming!

Mungkin bagi Steve sudah kesekian kalinya menginjakan kaki di pulau dewata ini. Namun bagiku, kali pertama jejak kaki ini menyentuh tanah Bali. Kesan tersendiri mambawa nama diri di hadapan ribuan jejak kaki yang telah melahirkan kenangan di pulau ini. Apakah aku yang selanjutnya dapat membukukan kenangan itu, atau kebahagian yang menggiring aku dalam buku kenangan baru.

            Entahlah, tanah Bali rasanya masih sulit untuk aku pelajari. Jangankan untuk mencari sriwedari, mencari alamat pun aku yakin tidak akan menemukannya. Setibanya kami di sebuah hostel, tidak lengkap rasanya memanjakan seluruh sendi yang sempat kaku akibat perjalanan jauh. Siang itu menunjukan terik yang begitu panas, sehingga membuat kedua kaki kami memaksa diam untuk tetap singgah.

“Lex... kita menginap di hostel ini hanya semalam saja. Besok aku akan mengajakmu ke tempat sriwedari nya pulau dewata”.

“Aku ikut apa katamu saja Steve, lagipula peranku disini hanya menemanimu saja”.

“What are you talking? Bali’s a place where happiness gather. let the wings grow back in this place”. Cakapan Steve yang fasih sekali dengan pronounce english.

            Pikiranku langsung bergegas, memaksa seluruh indera untuk segera bangkit dari sofa yang terus memanjakan tubuh. Tidak mungkin ada kelahiran kesenangan tanpa ada usaha di dalamnya, tidak menutup kemungkinan juga aku menemukan sayap yang sempat patah untuk segera bertumbuh.

            60 menit sudah aku berjalan kaki di sekitaran hostel kami bersinggah. Bali sungguh indah, tidak heran banyak wisatawan asing lebih mengenal Bali daripada Indonesia. Penerapan tiap sudut bangunannya sungguh di tata sangat baik. Yang lebih membanggakannya lagi, ribuan pura yang berumur sudah sangat tua masih di jaga dan di rawat dengan baik. Sebaiknya aku beristirahat sejenak, mungkin dengan minum coffee di cafe akan lebih menenangkan mata ini yang sudah sangat lelah. Kala itu aku duduk di sebuah sofa yang mengkaitkan antara warna putih dengan warna polkadot hitam. Tentu, ditemani kamera SLR yang selalu aku bawa kemanapun aku pergi. Sesaat beberapa menit aku sedang melihat foto, mata ini seakan mempunyai naluri untuk melihat sriwedari lain yang tersembunyi di balik sofa. Dia adalah bulatan mata yang tercipta sangat sempurna, senyumnya serupa mawar yang ingin tumbuh, bahkan harumnya semirip melati yang memagiskan seseorang untuk tetap diam.

Tuhan telah menciptakan setiap kejadian di setiap rencana-Nya yang paling indah. Tuhan telah mempersiapkan semuanya berdasarkan hal yang paling baik. Termasuk saat ini, ketika semua itu berlangsung sangat indah. Tidak memandang kemaluan yang tak hentinya terus mendorong tingkat panik ku pada saat itu.

“Hey... Bolehkah aku duduk di sofa ini, terlihat kita memang asing di antara banyak orang yang duduk dengan riang di cafe ini” Pintaku yang terlihat begitu gugup berhadapan dengannya.

“Tentu... Lagipula aku memang benar-benar sendiri di tempat ini. Tidak ada tujuan yang pasti aku singgah sementara di Bali, aku hanya ingin merasakan kebahagiaan. Just Happiness!” Balasnya yang cenderung murung seterpa langit berlapiskan hujan.

“Lihatlah edelweis yang bergerak statis di kanvas bunga itu. Meski dia ingin sekali menghirup udara bebas di luar sana, aku yakin dia tetap tersenyum dan memberikan keindahannya dengan apa yang dilakukannya sekarang”.

“Kamu ini seorang pujangga yang berasal dari turunan siapa? Hahaha !!! Bukankah umur edelweis sangat panjang? Bagaimana mereka bisa menahan kesedihan di masa yang sangat panjang?”

“Pertanyaanmu bak syair yang tidak beraksara. Hahaha !!! Hal istimewa apa yang menempatkan sesuatu dalam ruang kenyamanan? Kemungkinan dia tetap tinggal adalah cara yang terbaik untuk menemani edelweis satunya di ruang ini. Saat aku masuk di cafe ini, aku melihat 2 tangkai edelweis yang masih tegak sempurna tanpa ada kesedihan di antara keduanya.” Ucapku sambil melihat dia menuliskan sesuatu.

Saat purnama melihat sabit ingin muncul
Sesaat itu pula aku ingin bertemu denganmu lagi di lain kesempatan
Ketika cahaya pijar tiba-tiba meredup
Ketika itu pula Tuhan membiarkan kita menjauh
Windya Larasati

Pada saat itu aku berkomitmen untuk tetap lama singgah di Bali. Aku masih mempercayai ketika Tuhan menempatkan sosok wanita pada saat kita benar-benar membutuhkannya, bukan pada saat menginginkannya.

Keesokan harinya Steve mengajakku untuk pergi ke suatu tempat. The Bay Bali. Aku masih penasaran dengan tempat apa yang nanti akan aku kunjungi itu. Menurut Steve, tempat itu adalah sriwedarinya pulau Bali. Memang benar, ini adalah taman surga nya para traveller untuk benar-benar memanjakan diri di Pulau Bali.


              Aku sangat beruntung sekali mempunyai teman seperti Steve, tidak henti-hentinya Ia menawarkan kebaikan yang tidak pernah putus terhadapku. Entah dengan apa aku harusnya membalasnya kelak, setidaknya aku selalu ada di saat dia benar-benar membutuhkan ku. Itulah gunanya sahabat.

            Sore itu tidak menyurutkan semangat kami berdua untuk mengelilingi luasnya The Bay Bali ini, tidak lupa juga kami melahap kuliner yang katanya menjadi maskot di tempat ini. Adalah menu bebek bengil yang rasanya tidak di ragukan lagi. Aku hanya tertegun ketika melihat di sekitar ku terdapat lampu taman yang seketika menyala untuk menyambut malam.


            Malam pun tiba, puluhan cahaya lampu seakan membawa nyawa yang tidak ada hentinya terhadap malam. Aku beranggapan bintang tidak lagi membuktikan keperkasaannya di tempat ini, mataku hanya menunjuk pijar yang menjadi penerang di gelap malam.


           De opera, adalah langkah selanjutnya aku melangkahkan kaki di The Bay Bali, inilah sriwedari yang sesungguhnya. Taman surga yang sangat indah. Tidak ada daya magis yang terlihat disini, ini hanya tentang langkah yang menuaikan pekik kebahagiaan. Terima kasih Tuhan, engkau telah menempatkan aku di tempat yang istimewa ini.

            Dan sekali lagi, Tuhan menunjukan langkah yang sangat istimewa. Mata bulat nan indah dan senyum yang bisa menghidupkan mawar yang sudah layu itu kembali datang di hadapan ku saat ini. Tepat di 90 derajat ke kiri arah ku berdiam sekarang. Ini sungguh mustahil, sangat mustahil!!! Menuaikan tanda tanya terbesar tentang rencana Tuhan yang terkadang tidak masuk akal. Tak butuh waktu lama juga aku segera mendekatinya.

“Windya Larasati?” sapa ku yang masih ragu-ragu dengan keberadaanya.

“Aku masih tidak percaya, bahwa sabit memang benar-benar ingin muncul di malam ini dan menggantikan purnama. Mungkin Tuhan telah merencanakan ini semua” jawab Windya yang masih mengingat sepotong surat itu.

“Selamat malam. Selamat menikmati malam yang indah ini. Aku percaya, ribuan pijar ini adalah nyawa dari edelweis yang sengaja kita bicarakan waktu itu. Kali ini aku tidak akan melepaskan dirimu secepat air menyurutkan api, aku benar-benar ingin memahami dirimu lebih jauh. Aku Alex, bukan turunan Bali, aku hanya pendatang disini yang ingin merasakan kebahagiaan sama sepertimu” Tegasku sambil memegang minuman di jembatan yang penuh dengan pijar itu.

“Okay... I’m not going to go away. Disini aku hanya menemani Ayahku yang sedang mengadakan meeting dengan para karyawannya. Kebetulan kamu datang di saat yang benar-benar aku butuhkan, aku kesepian di tempat ini. Kalau tidak keberatan, aku ingin mengajakmu besok sore untuk makan bersama denganku”

            Ini kali pertama lagi aku merasakan cinta. Tidak dapat membayangkan lagi ketika seseorang di hadapkan pada cinta yang benar-benar mereka butuhkan. Aku benar-benar mengaguminya saat itu, terasa aku ingin benar-benar berjuang. Jika memang pada saatnya itu tiba, tidak akan aku lupakan bahwa Bali adalah Pulau yang saat indah untuk selalu aku kenang.


Ibarat biji coffee yang bila di diamkan lama akan mempunyai kualitas yang sangat baik. Selama itulah hubungan aku dan dia kini sudah menjadi kita. Sriwedari Bali yang telah mengatarkan kita sampai saat ini. Tuhan telah menempatkan dan merencakan individunya dalam dimensi yang sangat indahnya. Jika hari ini kita merasakan sakit, jangan pernah perpanjang rasa kesakitan itu berlanjut, karena Tuhan telah mempersiapkan rencana yang luar biasa di depan.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! (dengan tulisan The Bay Bali yang di link ke website: www.thebaybali.com).